tu(gas)lisan #4

Pengaruh Lingkungan bagi Mahasiswa Rantau

Oleh: Maulidia 


Pendahuluan

Sebagian besar mahasisiwa cenderung ingin merantau dikarenakan lokasi universitas yang tersebar di kota-kota besar memiliki kualitas yang bisa dibilang lebih tinggi. Sehingga kebanyakan mahasiswa memilih universitas terbaik yang kebanyakan tersebar di kota besar. Menurut Indriane (2012) individu yang memilih merantau memiliki harapan untuk mendapatkan pendidikan yang lebih baik daripada individu tersebut dapat sebelumnya.

Konsep rantau di Indonesia dikenalkan oleh orang Minang. Pada hal ini rantau bermakna suatu tempat di luar kampung halaman, tempat seseorang khususnya laki-laki mengadu nasib dengan berdagang atau menuntut ilmu namun tidak akan melupakan kampung halamannya atau tempat asalnya. Meskipun suku-suku selain Minang juga banyak yang merantau keluar dari daerah asalnya, namun mereka tidak melakukan konsep “rantau” sebagai suatu amanat budaya. Dinamika seperti ini juga berengaruh terhadap perkembangan budaya. (Sedyawati, 2012)

Dapat dikatakan bahwa sebagian besar mahasiswa yang merantau dipengaruhi oleh lingkungan budaya di mana dia tinggal. Karena mau tidak mau, cepat atau lambat seseorang akan terpengaruh oleh budaya lingkungan di mana dia tinggal.

Pembahasan

Ketika sudah berada pada lingkungan yang baru, umumnya para mahasiswa perantauan merasakan banyak perbedaan. Contohnya adalah seperti perbedaan makanan, perbedaan bahasa, perbedaan budaya dan perbedaan norma. Mahasiswa rantau yang berasal dari luar daerah aslanya akan melakukan penyesuaian-penyesuaian di lingkungan barunya. Ada penelitian yang mengatakan bahwa pemahaman penyesuaian akan muncul pada mahasiswa rantau dikarenakan adanya kebiasaan-kebiasaan yang ada di lingkungan barunya dan aspek makanan,bahasa dan budaya tersebut akan dijumpainya selama adanya interaksi di lingkungan barunya.

Adaptasi atau menyesuaikan diri pada lingkungan yang baru merupakan suatu hal yang penting. Kebanyakan orang pada umumnya merasa tidak senang dalam lingkungan yang baru dikarenakan kesulitan atau ketidakmampuan dalam menyesuaikan diri, dengan budaya lingkungan tempat tinggal atau lingkungan sosial. (Desmita, 2009) Bagi mahasiswa, terutama perantau, penyesuaian diri ini sangat penting untuk mendukung keberlangsungan hidup dalam berinteraksi  sosial dengan masyarakat dilingkungan sekitar tempat tinggal.

Para mahasiswa perantau inilah awal mula terbentuknya keanekaragaman budaya dan memunculkan nuansa multicultural yang ada di tempat tinggal sementara seperti kos, pondok pesantren mahasiswa, asrama, dan lain-lain. Sehingga tidak heran jika di lingkungan sosial kampus kota besar dengan universitas terbaik akan kita temui sejumlah mahasiswa yang memiliki latar belakang budaya yang berbeda-beda dengan karakternya masing-masing di mana seorang itu berasal.

Seperti nuansa multicultural pada pondok pesantren mahasiswa di salah satu daerah di kota Bandung. (yang selanjutnya akan dsebut dengan mahasantri) Sebagian mahasantri yang tinggal di sana kebanyakan berasal dari daerah luar pulau Jawa, atau bisa disebut dengan perantau. Mahasantri pada pesantren tersebut berasal dari berbagai daerah antara lain ada yang dari Kalimantan, Sulawesi, Sumatera, Papua, Aceh, dan lain sebagainya.  Identitas mereka pun kebanyakan berasal dari pesantren dari masing-masing daerah asal mereka. Akan tetapi ada beberapa mahasiswa yang bukan berasal dari pesantren atau non-santri. Maka dari itu saat mereka berada pada lingkungan kampus yang di dalamnya terdapat banyak orang yang datang dari berbagai daerah maka mereka akan mengalami cultural shock.

Penelitian yang saya lakukan adalah penelitian partisipan, yang mana saya sendiri juga menjadi subyek penelitian. Sebagai contoh yaitu penelitian kecil-kecilan yang saya amati pada salah satu kelas yang bisa dibilang nusantara karena di sana mahasiswanya berasal pada berbagai pesantren di penjuru Indonesia.

Semua mahasiswa yang ada di dalam kelas tersebut adalah santri dari penjuru Indonesia yang mana mereka semua memiliki budaya yang berbeda-beda. Hingga pada saat mereka disatukan pada kelas tersebut mereka masih membawa budaya lingkungan pesantren mereka. Misalnya budaya di lingkungan pesantren mereka yang terpisah antara laki-laki dan perempuan yang mana saat mereka bertemu dengan lawan jenis itu terasa sangat canggung. Akan tetapi seiring berjalannya waktu, kurang lebih di semester lima, mereka menjadi sangat terbiasa dengan lawan jenis. Hal ini dikarenakan budaya di lingkungan kampus yang tidak sama dengan lingkungan asal mereka. Di lingkungan kampus laki-laki dan perempuan bisa bebas kapan saja mau bertemu. Sangat berbanding terbalik dengan budaya lingkungan pesantren yang untuk bertemu pun susah.

Contoh lain yang mereka alami yaitu dari segi bahasa, di pesantren asal, mereka terbiasa dengan berbicara bilingual (Arab dan Inggris). Akan tetapi saat di dunia kampus budaya tersebut menghilang karena pengaruh sosial yang terjadi di wilayah kampus yang masih sering  berbahasa daerah dan bahasa Indonesia.

Contoh terakhir yaitu dari segi pakaian. Kita tahu sendiri bahwa santri di Indonesia identik dengan sarung dan peci. Akan tetapi pada saat di dunia kampus mereka sudah mulai meninggalkan budaya tersebut dikarenakan pengaruh dari lingkungan mereka.

Proses penerimaan perubahan faktor yang mempengaruhi diterima atau tidaknya suatu unsure kebudayaan baru diantaranya: 1). Terbiasanya masyarakat memiliki kontak dengan kebudayaan.  2). pandangan hidup dan nilai dominan dalam suatu kebudayaan. 3). Corak struktur masyrakat yang menentukan proses penerimaan kebudayaan baru. 4). Suatu unsure kebudayaan diterima jika sebelumnya ada landasan bagi diterimanya unsure budaya baru.5). apabila unsure kebudat=yaan tersebut terbatas dan dapat dengan mudah dibuktikan kegunaannya oleh masyarakat yang bersangkutan.

Menurut hemat saya, perubahan seseorang pada lingkungan umumnya dipengaruhi oleh kekuatan komunitas itu sendiri, misalnya jika seorang tersebut menjadi mayoritas, maka apa yang telah ia pegang kemungkinan bisa menjadi lebih kuat. Lain halnya jika sesuatu itu menjadi minoritas, maka yang akan terjadi yaitu kelemahan bahkan sampai meninggalkan sesuatu yang telah ada.

Mengutip buku Ilmu Budaya Dasar dijelaskan bahwa penyesuaian diri antarbudaya dipengaruhi oleh berbagai faktor, diantaranya faktor intern dan ekstern. Menurut Brislin faktor internal adalah watak (traits, yaitu segaka tabiat yang membentuk kepribadian seseorang)  dan kecakapan (skill, segala sesuatu yang dapat dipelajari mengenai lingkungan budaya yang akan dimasuki).  Selain itu juga terdapat tambahan yaitu sikap (attitude).

Faktor ekstern yang mempengaruhi anatar lain: 1) besar kecilnya perbedaan kebudayaan tempat asal dan yang akan dimasukinya. 2) perkerjaan yang dilakukan, apakah pekerjaan tersebut bisa ditolerir dengan latar belakang pendidikannya atau tidak. 3) suasana lingkungan dia bekerja, apakah mempermudah untuk menyesuaikan diri atau malah sebaliknya. (Sulaeman, 2015)

Melalui konsep culture shock diperkenalkan oleh Oberg (1960) yang kemudian disempurnakan oleh Furnham dan Bochner (1970) menunjukkan bahwa culture shock terjadi biasanya dipengaruhi oleh tiga penyebab yakni: (Devinta, 2015)

1.      Kehilangan cues atau tanda-tanda yang dikenalnya. Padahal cues adalah bagian dari kehidupan sehari-hari seperti tanda-tanda, gerakan bagian-bagian tubuh (gestures), ekspresi wajah ataupun keniasaan-kebiasaan yang dapar menceritakan keada seseorang bagaimana sebaiknya bertindak dalam situasi tertentu.

2.      Putusnya komunikasi antarpribadi baik pada tingkat yag disadari yang mengarahkan pada frustrasi dan kecemasan. Halangan bahasa adalah penyebab jelaas dari gangguan ini.

3.      Krisis identitas denga  pergi keluar daerahnya seseorang akan kembali mengevaluasi gambaran tentang diriya.

Culture shock dapat terjadi dalam lingkungan yang berbeda mengenai orang yang mengalami perpindahan dari satu daerah ke daerah lainnya dalam negerinya sendiri (intra-national) dan orang berpindah ke negeri lain dlaam jangka waktu yang lama.

Lebih lanjut lagi dijelaskan bahawa hal tersebut dioucu oleh kecemasan yang timbul akibat hilangnya tanda dan lambing hubungan sosial yang selama ini familiar dikenalnya dalam interaksi sosial, seperti petunjuk-petunjuk dalam bentuk kata, isyarat, ekspresi wajah, kebiasaan, atau norma yang didapatkan selama perjalanan hidup orang tersebut. (Mulyana, 2006)

Samovar menyatakan bahwa orang biasanya melewati empat tingkatan culture shock. Keempat tingkatan tersebut digambarkan dengan bentuk kurva U, sehingga disebut U-Curve. Tingkatan pertama yaitu Fase optimistic, yang kedua yaitu masalah cultural, yang ketiga yaitu fare recovery, dan yang keempat yaitu fase penyesuaian. (Devinta, 2015)

Penutup

            Sangatlah lazim halnya jika seorang manusia itu berubah karena dipengaruhi oleh budaya lingkungannya. Cepat atau lambat, sedikit atau banyak manusia akan terpengaruh oleh lingkungan yang ia tinggali. Perubahan yang terjadi pun bisa mengarah pada hal positif bahkan negatif.

 

Referensi

Desmita. (2009). Perkembangan Peserta Didik. Bandung: PT Rosdakarya.

Devinta, M. (2015). Fenomena Culture Shock (Gegar Budaya) pada Mahasiswa Perantauan di Yoogyakarta. Jurnal Pendidikan Sosiologi , 4.

Mulyana. (2006). Komunikasi Antar Budaya Panduan Berkomunikasi dengan Orang-orang Berbeda Budaya. Bandung: Rosda Karya.

Sedyawati, E. (2012). Budaya Indonesia (Kajian Arkeologi, Seni, dan Sejarah). Jakarta: PT RajaGrafindo Persada.

Sulaeman, M. (2015). Ilmu Budaya Dasar Pengantar ke Arah Ilmu Sosial Budaya Dasar/ISBD?Social Culture. Bandung: PT Refika Aditama.

 

 

 

Komentar

Postingan populer dari blog ini

anak perempuan

blessed

Past Reflection