Tu(gas)lisan - Pertarungan Budaya, Identitas, dan Kesehatan Psikologis di Lingkungan Baru
Pertarungan Budaya, Identitas, dan Kesehatan Psikologis di Lingkungan Baru
Oleh: Maulidia
Pendahuluan
Fenomena merantau untuk menempuh pendidikan tinggi bukan lagi hal baru di Indonesia. Sebagian besar mahasiswa memilih universitas di kota besar karena persebaran kualitas pendidikan yang dianggap lebih unggul. Indriane (2012) menyebutkan bahwa individu merantau dengan harapan memperoleh pendidikan yang lebih baik dibandingkan kesempatan yang ada di daerah asal. Konsep merantau sendiri sudah lama melekat dalam budaya Minangkabau, yang memaknai perjalanan keluar kampung sebagai proses pembelajaran diri sekaligus penguatan identitas (Sedyawati, 2012).
Dalam konteks modern, pilihan untuk merantau tidak lagi semata tradisi, tetapi dipengaruhi oleh kondisi lingkungan sosial, budaya, dan pendidikan. Mahasiswa yang berpindah ke wilayah baru akan menghadapi dinamika perbedaan budaya, bahasa, norma, hingga gaya hidup. Lingkungan baru ini secara tak terhindarkan memengaruhi perilaku, nilai, bahkan identitas mahasiswa. Dengan demikian, dapat disimpulkan bahwa lingkungan memiliki peran signifikan dalam membentuk proses adaptasi mahasiswa rantau, baik secara psikologis maupun sosial.
Pembahasan
Perubahan Lingkungan dan Tantangan Adaptasi Mahasiswa Rantau
Mahasiswa yang memasuki lingkungan baru dihadapkan pada perubahan yang tidak kecil. Perbedaan makanan, bahasa, gaya komunikasi, hingga norma sosial menciptakan jarak antara kebiasaan lama dan ekspektasi baru. Menurut teori penyesuaian diri Desmita (2009), kesulitan adaptasi biasanya muncul ketika individu tidak mampu menyesuaikan diri dengan tuntutan lingkungan sosialnya. Pada mahasiswa rantau, ketidakmampuan ini dapat mempengaruhi hubungan sosial, performa akademik, hingga kesejahteraan psikologis.
Namun tantangannya bukan sekadar “berbeda budaya,” melainkan bagaimana mahasiswa menafsirkan perbedaan itu. Ada mahasiswa yang memandang perbedaan sebagai ancaman terhadap identitasnya, ada pula yang melihatnya sebagai peluang memperluas wawasan. Di sini, kemampuan kognitif dan emosional mahasiswa memainkan peran penting dalam proses adaptasi.
Nuansa Multikultural dan Gesekan Budaya
Keanekaragaman budaya yang muncul dari interaksi mahasiswa dari berbagai daerah dapat menjadi sumber pembelajaran sekaligus potensi konflik. Contoh yang kamu berikan mengenai pondok pesantren mahasiswa di Bandung memperlihatkan bagaimana mahasiswa dari berbagai wilayah—Kalimantan, Sumatera, Sulawesi, hingga Papua—membawa identitas budaya serta kebiasaan masing-masing.
Ketika mereka masuk ke kelas yang “nusantara,” terjadi pertemuan budaya yang tidak selalu berjalan mulus. Mahasiswa berlatar pesantren, misalnya, awalnya merasa canggung berinteraksi dengan lawan jenis. Namun seiring waktu, lingkungan kampus yang lebih bebas dalam interaksi laki-laki dan perempuan menyebabkan perubahan perilaku.
Di titik ini, muncul isu penting:
Apakah perubahan itu bentuk adaptasi sehat, atau bentuk hilangnya nilai yang sebelumnya mereka junjung?
Pertanyaan ini penting, karena adaptasi budaya tidak selalu berarti “menjadi lebih baik”—terkadang adaptasi justru memunculkan kehilangan identitas, kebingungan nilai, atau konflik internal.
Culture Shock sebagai Kenyataan Psikologis Mahasiswa Rantau
Oberg (1960) menjelaskan bahwa culture shock adalah reaksi emosional terhadap kehilangan simbol dan tanda sosial yang Familiar. Pada mahasiswa rantau, hilangnya isyarat-isyarat budaya—gestur, cara berkomunikasi, aturan sosial, hingga humor—membuat mereka berada dalam posisi rentan. Furnham dan Bochner (1970) menambahkan bahwa culture shock juga berkaitan dengan putusnya komunikasi interpersonal dan krisis identitas.
Di sinilah letak kerentanan mahasiswa rantau:
Mereka tidak hanya harus belajar memahami sistem akademik baru, tetapi juga “bahasa sosial” baru yang menentukan apakah mereka diterima atau tidak oleh komunitas sekitar.
Faktor Internal dan Eksternal yang Membentuk Adaptasi Budaya
Menurut Brislin (dalam Sulaeman, 2015), ada faktor internal seperti watak, kecakapan, dan sikap yang menentukan keberhasilan adaptasi. Mahasiswa yang memiliki fleksibilitas kognitif, toleransi terhadap ambiguitas, dan keterbukaan pengalaman cenderung lebih mampu memahami budaya baru tanpa merasa terancam.
Sementara itu, faktor eksternal seperti besarnya perbedaan budaya dan suasana lingkungan sosial juga memengaruhi adaptasi. Ketika budaya kampus jauh berbeda dari budaya asal mahasiswa, proses adaptasi menjadi lebih berat. Lingkungan yang tidak suportif dapat memperburuk isolasi sosial dan stres emosional.
Kekuatan Komunitas dan Dinamika Mayoritas–Minoritas
Argumen kritis yang penting diangkat ialah bagaimana posisi mahasiswa rantau di komunitas menentukan bentuk adaptasi mereka. Ketika mahasiswa berada dalam kelompok mayoritas, budaya asal mereka cenderung bertahan dan menjadi norma dominan. Sebaliknya, ketika menjadi minoritas, identitas budaya sering kali melemah dan lebih mudah terkikis.
Dalam banyak kasus, mahasiswa yang minoritas budaya di lingkungan kampus mulai meninggalkan kebiasaan asal—mulai dari bahasa, pakaian, hingga nilai sosial—karena tekanan sosial atau kebutuhan untuk diterima. Inilah yang menjadi salah satu masalah utama:
Adaptasi bukan hanya proses belajar budaya baru, tetapi juga proses kehilangan sebagian diri.
Karena itu, perubahan perilaku mahasiswa perantau tidak dapat dilihat semata-mata sebagai “proses wajar,” tetapi perlu dipahami sebagai hasil tarik-menarik antara identitas asal dan tuntutan lingkungan baru.
Penutup
Perubahan yang terjadi pada mahasiswa rantau bukanlah fenomena sepihak, melainkan hasil interaksi antara faktor internal (kepribadian, sikap, kecakapan adaptasi) dan eksternal (lingkungan sosial, perbedaan budaya, dinamika komunitas). Cepat atau lambat, lingkungan memang memengaruhi perilaku dan identitas mahasiswa. Namun pengaruh tersebut tidak selalu positif. Jika lingkungan baru mendukung perkembangan sosial dan psikologis, mahasiswa dapat berkembang menjadi pribadi yang lebih terbuka dan kompeten. Sebaliknya, lingkungan yang menekan dapat menimbulkan stres, kebingungan identitas, hingga hilangnya nilai budaya pribadi.
Dengan demikian, memahami pengaruh lingkungan terhadap mahasiswa rantau adalah langkah penting untuk menciptakan kebijakan dan lingkungan kampus yang lebih inklusif. Lingkungan yang mampu memfasilitasi adaptasi tanpa menekan identitas asal akan melahirkan mahasiswa yang tidak hanya cerdas secara akademis, tetapi juga matang secara budaya dan emosional.
Komentar
Posting Komentar