next stop station.
sekarang lagi di perjalanan, aku duduk di jendela kereta, menatap lanskap yang berlalu—sawah hijau, langit kelabu, dan mimpi yang semakin dekat. aku dalam perjalanan menuju tempat baru, mengejar mimpiku, langkah berikutnya dalam hidupku yang penuh ambisi.
tapi bjir, kereta ini panjang jalannya, dan aku gabut. earphone di telinga, music lembut lana del rey dari playlist lama mengalun—entah kenapa, itu mengingatkanku pada seseorang. jadi, di antara deru rel dan mimpi yang belum kulihat, aku buka laptop dan menulis. ini cuma cerita tentang cowok yang pernah singgah di hati dan tentang aku—cewe gila yang belajar bahwa menang bukan cuma soal mendapatkan, tapi memahami diri sendiri. so, let me spill my heart, one word at a time.
"sometimes, you chase a heart not because you want to keep it, but because you want to prove you can."
anjir, hidupku akhir-akhir ini kaya novel yang penulisnya lupa kasih akhir bahagia. aku dengan gengsi setinggi langit, pernah jatuh ke lubang overthinking, kangen, dan ambisi yang bikin hati naik-turun. here we go, ceritaku—tentang pengalaman lawan jenis yang bikin aku bertanya: aku beneran sayang, atau aku cuma pengen menang?
_____________
ada masa di mana aku terpikat sama cowok tengil yang nahan pintu buatku, yang ada di video timelapse bakso malangku tanpa disengaja, yang bikin jantungku deg-degan cuma karena senyumnya. aku kira dia the one, tapi bjir, gengsiku lebih besar dari rasa sukaku. aku gak mau nyapa duluan, takut dia gak notice, takut dia naksir orang lain, takut naksinya malah sama temenku—anjir, otakku bikin drama sendiri. gak jarang malem-malem aku gak tidur, kepikiran “what if” yang gak pernah kejawab. tapi entah kenapa, perasaan itu pudar. maybe it was just a spark, not a fire. dia jadi pelajaran: kadang kita suka cuma karena kita pengen ngerasa alive. and just like that, I let him go—not with tears, but with a smile (aowkwk freak). aku gak kalah, aku cuma milih berhenti main di cerita yang gak buatku.
____________
another cowok yang udah jadi home base-ku sejak sekolah, sejak 2015. dia kaya rumah yang selalu aku pulang, meskipun pintunya gak pernah bener-bener terbuka. kami temen akrab —setidaknya menurutku begitu. rasanya kami tumbuh bersama, berkembang bersama. tapi plot twistnya adalah dia punya pacar, coy, udah bertahun-tahun (and it might be still counting until this blog written). dan aku? aku masih baper, meskipun aku tahu ini gak sehat. aku naksir dia, tapi sekarang aku sadar: aku gak beneran pengen dia selamanya. aku cuma pengen dia suka aku, biar aku ngerasa menang. i want it, i get it—vibes ariana grande yang bikin aku lupa, kadang yang kita kejar cuma bikin kita capek.
menurutku, cowok satu ini susah ditaklukin—mungkin karena dia punya pacar, mungkin karena dia nyaman cuma jadi temen. aku pernah tanya diri sendiri: kalo dia single, apa aku beneran mau pacaran? apa aku cuma pengen “trofi”? jujur, aku pengen yang lebih baik dari dia—seseorang yang gak cuma tantangan, tapi rumah yang bener-bener buatku. tapi kenapa aku selalu balik ke dia? mungkin karena dia comfort zone-ku, tempat aku lari kalo dunia terlalu keras, anjay kelasss.
aku sadar, menang gak selalu tentang dapetin cowok yang aku suka. menang adalah tahu apa yang aku mau, apa yang aku pantas, dan gak takut buat lepasin apa yang gak buatku bahagia. terima kasih orang-orang yang udah mampir di hidupku, aku mau lanjut lagi jalan ke mimpi besar dan belajar buat lembut sama diri sendiri.
perhatikan barang bawaan anda, aku akan lanjutkan perjalanan ini sampai stasiun berikutnya, semoga selamat sampai tujuan.
Komentar
Posting Komentar