tu(gas)lisan #2

 Kebudayaan, Agama, dan Gender

Pendahuluan

Dari dulu hingga sekarang, kesenjangan gender antara laki-laki dan perempuan masih saja exist di masyarakat. Sebagai contoh yakni perempuan yang harus menyukai warna merah muda, dan laki-laki harus menyukai warna yang gelap; perempuan yang setelah menikah harus di dapur dan tidak bisa berkarir sedangkan laki-laki harus menjadi pekerja keras untuk menafkahi keluarganya. Stereotype seperti ini agaknya memang sudah sangat lumrah di masyarakat saat ini baik itu yang tinggal di desa atau di kota.

Beberapa orang memandang bahwa setara itu berarti laki-laki dan perempuan memiliki kemampuan yang sama, misalnya laki-laki mampu mengangkat beban 50 kg berrati perempuan juga harusnya dituntut mampu mengangkat beban 50 kg juga. Ini adalah contoh analogi yang keliru. Pada dasarnya setara itu bukan berarti sama, kesetaraan itu berarti setiap individu baik itu laki-laki atau perempuan (terlepas dari status apapun) memiliki hak dan kesempatan yang sama.

Lalu masih banyak juga orang yang complain mengenai mengapa perempuan selalu ingin memiliki hak istimewa? Seperti misalnya pada angkutan umum baik itu kereta api, bis, dan lain sebagainya perempuan layaknya ratu yang ingin diberikan tempat yang istimewa. Seakan menjadi perempuan berarti kita mempunyai privilege untuk sebagian aktivitas. Beberapa perempuan yang saya berikan pertanyaan di atas berpendapat bahwa sebenarnya mereka bukan menginginkan hak istimewa ataupun privilege, hanya saja perempuan memiliki beban reproduksi tersendiri yang berbeda dengan laki-laki. Perempuan mengalami hamil dan haid, mengandung dan melahirkan 2H 2M, yang mana laki-laki tidak memiliki beban tersebut. Dari sini kita juga bisa memahami bahwa secara biologis perempuan dan laki-laki itu berbeda. Akan tetapi mereka memiliki hak dan kesempatan yang sama.

Jika kita membahas gender sebenarnya gender itu bukan hanya berbicara mengenai jenis kelamin. Menurut teori feminism, gender itu merupakan suatu kontruksi sosial yang menempatkan individu pada skala masing-masing. Namun saat ini banyak sekali orang yang belum bisa membedakan antara kodrat dan gender. Kodrat itu nature, yaitu suatu hal yang sudah tidak bsa diubah lagi. Artinya ini sudah menjadi ketetapan Yang Mahakuasa, misalnya rahim pada perempuan. Berbeda lagi dengan nurture, misalnya pembagian tugas mengurus anak antara suami dan istri.

Secara umum memang studi mengenai gender ini seringkali menekankan diskriminasi atas perempuan, yang mana hal ini memiliki keterkaitan dengan latar belakang sosialnya yang menunjukkan hasil bahwa perbedaan gender ini lebih mengarah kepada perempuan dan hal ini memiliki dampak positif terhadap perempuan. Karena hal tersebut akan menumbuhkan kesadaran bagi perempuan akan kemampuan yang dimilikinya. Ini akan membantu perempuan untuk melakukan menjadi peran yang efisien dalam kehidupan masyarakat dan keluarganya sendiri. Hal ini juga memiliki efek bahwasanaya perempuan dapat meningkatkan standar hidup dan mencetak generasi yang lebih baik.

Selanjutnya pada tulisan ini akan membahas, mengenai definisi gender dan jenis kelamin (seks), penyebab kesenjangan gender, dan bagaimana pandangan Al-Qur’an mengenai perempuan dan egalitarisme gender.

Pembahasan

Definisi Gender

Sepuluh tahun terakhir pembahasan mengenai gender sudah semakin luas hingga memasuki setiap lini sosial. Begitupun di Indonesia, hampir keseluruhan uraian mengenai program-program pengembangan masyarakat ataupun organisasi non-pemerintah membahas isu mengenai gender. Akan tetapi hal ini masih sering terjadi kesalahpahaman dan ketidak jelasan mengenai konsep gender dan hubungannya dengan ikhtiar emansipasi kaum perempuan. Salah satu penyebabnya yaitu ketidakjelasan perbedaan makna gender dan sex. Kemungkinan ketidakjelasan itu bersumber dari kurangnya pemahaman mengenai hubungan konsep gender dengan masalah ketidakadilan lainnya.

Kata gender dalam istilah bahasa Indonesia itu sebenarnya diadopsi dari bahasa inggris yakni gender. Dalam kamus bahasa Inggris perbedaan antara gender dan sex tidak dijelaskan secara detail. Oleh karenanya gender sering kali disamakan dengan seks (Nughroho, 2008).

Memahami konsep gender dan sex (jenis kelamin) haruslah membedakan kedua kata tersebut terlebih dahulu. Jenis kelamin adalah pensifatan atau pembagian dua jenis kelamin manusia yang telah ditentukan secara biologis yang melekat pada jenis kelamin tersebut. Misalnya, jenis laki-laki yaitu manusia yang maskulin, memiliki penis, memproduksi sprema, dan memiliki jakun. Dan jenis perempuan yaitu yang memiliki vagina, mempunyai sel telur, mempunyai rahim, haid dan hamil, melahirkan dan menyusui (2H 2M). Hal ini berati secara biologis, alat-alat tersebut tidak dapat ditukar satu sama lain antara laki-laki ke perempuan ataau sebaliknya. Secara permanen hal tersebut sudah merupakan kodrat yang telah diberikan oleh Yang Mahakuasa yang sudah ditentukan.

Istilah “gender” pertama kali diperkenalkan oleh Robert Stoller untuk mengklasifikasikan manusia didasarkan pada pendefinisian yang bersifat sosial budaya dengan definisi yang berasal dari ciri-ciri fisik biologis. Sebagaimana Stoller, Ann Oakley mengartikan gender sebagai koonstruksi sosial atau atribut yang dikenakan pada manusia yang dibangun oleh kebudayaan manusia (Nughroho, 2008).

Kantor Menteri Pemberdayaan Perempuan Republik Indonesia memberi pengertian bahwa gender merupakan peran-peran sosial yang dikonstrsikan oleh masyarakat, serta tanggung jawab antara laki-laki dan perempuan yang diharapkan masyarakat agar peran sosial tersebut dapat dilakukan oleh laki-laki ataupun perempuan (Indonesia, 2001, p. 1). Women’s Studies Encyclopedia menjelaskan bahwa definisi gender adalah suatu konsep kultural yang berupaya membuat distinction dalam hal peran, perilaku, mentalitas, dan karakteristik emosional antara laki-laki dan perempuan yang berkembang dalam masyarakat (Tierney, p. 153). Sumber lainnya mejelaskan bahwa gender adalah konstruksi sosio-kultural yang pada prinsipnya merupakan interpretasi cultural atas perbedaan jenis kelamin (Fauzie Ridjal, Lusi Margiyani, Agus Fahri Husein , 1993, p. 30).

Lain halnya dengan konsep gender yang diungkakan oleh Mansour Fakih, menurutnya, gender yang di maksud yaitu suatu sifat yang melekat pada seorang perempuan dan laki-laki yang dikonstruksi secara sosial ataupun kultural. (Fakih, 2013) Misalnya yang ada pada perempuan yaitu sikap lemah lembut, penyayang, emosional, dan keibuan. Pada laki-laki yaitu sikap yang perkasa, rasional dan kuat. Semua sikap yang ada pada laki-laki dan perempuan tadi bisa saja bertukar, misalnya laki-laki yang memiliki sikap lemah lembut dan perempuan yang memiliki sikap rasional, pertukaran sikap ini lah yang disebut dengan konsep gender.

Sejarah gender different ini terbentuk oleh waktu yang terbilang cukup panjang. Hal ini disebabkan oleh dibentuk, disosialisasikan, diperkuat, hingga dikonstruksikan secara sosial ataupun kultural melalui ajaran keagamaaan dan negara. Dengan proses yang cukup panjang, akhirnya sosialisasi gender tersebut dianggap sebagai ketentuan Tuhan seolah sifat biologis yang mereka tidak bisa ubah lagi hingga perbedaan tersebut dianggap dan dipahami sebagai kodrat laki-laki dan perempuan.

Dari beberapa definisi di atas dapat disimpulkan bahwa gender adalah suatu konstruksi atau bentuk sosial yang sebenarnya bukan bawaan lahir sehingga dapat dibentuk dan diubah sesuai dengan tempat, waktu, suku, ras, budaya, status sosial, pemahaman aagama, ideologi negara, politik hukum dan ekonomi. Oleh Karena itu gender bukanlah kodrat Tuhan, akan tetapi gender merupakan buatan manusia yang dapat ditukarkan dan bersifat relatif, yang mana hal tersebut bisa terdapat pada laki-laki ataupun perempuan. Sedangkan jenis kelamin (seks) adalah kodrat Tuhan yang berlaku di mana saja sepanjang masa yang tidak dapat diubaah dan ditukarkan anatar laki-laki dan perempuan.

Penyebab Kesenjangan Gender

Kesenjangan gender saat ini sudah menjadi isu global dan negara, dlaam hal ini mempunyai kewajiban untuk menguubah diskriminasi sikap agama dan memungkinkan perempuan mempunyai hak dan kesempatan yang sama.

Gender differences sebenarnya bukan suatu masalah selama tidak menimbulkan ketidakadilan gender. Akan tetapi, yang menjadi masalah sekarang adalah perbedaan gender ini telah menimbulkan berbagai ketidakadilan, baik itu bagi kaum laki-laki dan yang utamanya yakni perempuan. Karena secara biologis organ reproduksi pada perempuan hamil dan haid, mengandung dan melahirkan yang kemudian muncul gender role sebagai perawat, pengasuh, dan pendidik anak. Yang mana dengan demikian gender role ini tidak perlu digugat, padahal sebenarnya gender role ini menjadi masalah dan perlu dipertanyakan bahwa gender inequalities ini menimbulkan gender role and gender differences.

Secara toritis, menurut Levin kesenjangan gender ini dapat terjadi dikarenakan adanya suatu kelompok yang berkeinginan untuk mendominasi. Social dominance orientation atau SDO merupakan ukuran umum bagi suatu kelompok untuk mendominasi, berdasarkan teori SDO ini semakin tinggi status suatu kelompok maka akan semakin tinggi pula level SDO-nya. Kesenjangan gender yang ada dalam SDO bukanlah merupakan fungsi perbedaan status antara laki-laki dengan perempuan: laki-laki memiliki tingkat SDO yang lebih tinggi jika dibandingkan dengan perempuan, bahkan jika kesenjangan status gender keduanya kecil (Levin, 2004).

Kesenjangan gender atau gender inequalities merupakan suatu sistem di mana laki-laki dan perempuan menjadi korban sistem tersebut. Berikut adalah penyebab terjadinya kesenjangan gender tersebut: (Fakih, 2013)

Pertama, marginalisasi terhadap perempuan. Meskipun tidak semua marginalisasi perempuan disebabkan oleh ketidakadilan gender, namun, yang dipermasalahkan dalam analisis gender adalah  marginalisasi yang disebabkan oleh perbedaan gender. Sebagai contoh yaitu pada program pertanian Revolusi Hijau yang hanya memfokuskan pada petani laki-laki. Hal ini sudah terlihat bahwa asumsinya petani itu identik dengan laki-laki. Karena hal itulah banyak petani perempua yang tergusur dari sawah dan pertanian.

Kedua, subordinasi pada salah satu jenis kelamin, yang terjadi pada perempuan umumnya. Sevagai contohnya yaitu, karena akhirnya perempuan kembali ke dapur maka untuk apa perempuan memiliki pendidikan dan bersekolah yang tinggi. Contoh lain yaitu karena perempuan itu memiliki sifat bawaan yang diyakini masyarakat lebih emosional dibandingkan laki-laki maka perempuan dianggap tidak tepat jika menduduki kursi sebagai politikus atau manager.

Ketiga, stereotype pada salah satu jenis kelamin tertentu. Ini mengakibatkan terjadinya diskrimminalisasi dan ketidakadilan lainnya. Misalnya yang terjadi pada masyarakat kita dan bahkan sudah lumrah bahwa laki-laki sebagai bread winer maka apabila perempuan memiliki perkerjaan juga hanya dianggap sebagai tambahan.

Keempat, violence. Violence yang terjadi pada perempuan banyak sekali tejadi karena stereotype gender. Gender violence pada dasarnya terjadi disebabkan Karena adanya ketidaksetaraan kekuatan yang ada di masyarakat. Violence yang disebabkan oleh gender ini disebut dengan relate violence. Bentuk kejahatan yang ada pada gender violence ini diantaranya; pemerkosaan terhadap perempuan (termasuk juga di dalamnya pemerkosaan dalam perkawinan), serangan dan tindakan pemukulan yang terjadi dalam rumah tangga, genital mutilation, prostitution, pornografi, kekerasan dalam bentuk pemaksaan sterilisasi program KB, molestation, dan sexual and emotional harassment.

Kelima, beban kerja. karena gender perempuan adalah mengelola rumah tangga, maka banyak perempuan menanggung beban kerja domestik lebih banyak dan lebih lama (burden).

Dari poin-poin di atas, maka dapat diambil kesimpulan bahwa aktualisasi ketidakadilan gender ini masing-masing telah mengakar mulai dari keyakinan di masing-masing orang. Semua kesenjangan tersebut secara dialektika menyangkut dan saling berkaitan. Sistem kesenjangan tersebut akhirnya lambat laun akan jadi biasa dan diyakini bahwa peran gender itu seolah merupakan sebagai suatu kodrat. Struktur sistem kesenjangan gender tersebut yang akhirnya diterima, dan seiring berjalannya waktu tidak lagi dirasakan ada sesuatu yang salah.

Pandangan Al-Qur’an Mengenai Perempuan dan Egalitarisme Gender

Kesenjangan gender dalam kehidupan beragama secara garis besar bersumber dari ajaran agama yang mengklasifikasikan peran gender dan dari interpretasi terhadap ajaran agama yang memungkinkan terjadinya praktik bias gender. Selain itu juga kesenjangan gender terjadi karena kebijakan publik dalam kaitannya di kehidupan beragama.

Islam merupakan agama yang menganut prinsip egalitarian, karena menganggap kedudukan laki-laki dan perempuan itu sama di hadapan Allah. Islam hadir membawa misi baru peradaban umat manusia dengan memberikan penghargaan yang tinggi pada hak asasi manusia termasuk pula perempuan.

Sekalipun Islam mengajarkan kesetaraan gender, akan tetapi pada praktiknya baik di negara Islam ataupun negara yang mayoritas penduduknya agama Islam, bebrapa tetap saja terjadi kesenjangan gender. Sebagian faktor penyebabnya tentu saja bukan dari agamanya itu sendiri tapi dari kebijakan publik (Dr. Sindung Haryanto, 2016). Seperti studi oelh Bukhari dan Ramzan menemukan bahwa efek dari celling glass yang menghambat perempuan mencapai puncak dalam hierarki pekerjaan juga merupakan contributor dari perbedaan gaji berbasis gender dan disparsitas pendapatan anatara laki-laki dan perempuan (Farah Yasmin Bukhori, Muhammad Ramzan, 2013).

Berikut adalah beberapa contoh ayat Al-Qur’an yang menjekaskan mengenai kesetaraan gender dalam relasi gener yakni; Q.S An-Nisa:1, Q.S Al-Ahzab:35, Q.S. Al An’am:164, Q.S. Al-Baqarah:228 (Etin Anwar, 2017). Ayat-ayat ini menawarkan landasan metafisik, sosial, etis, dan eskatologis terhadap sistem gender egaliter: laki-laki dan perempuan sama kedudukannya di hadapan Allah, laaki-laki dan perempuan wajib saling menghormati, laki-laki dan perepuan akan menerima ganjaran sesuai dengan rindakan dan perilaku mereka, laki-laki dan perempuan sama-sama memiliki tanggung jawab untuk berbuat amal ma’ruf nahi mungkar, oleh karena itu laki-laki dan perempuan diharapkan menjaga hak masing-masing agar mendapatkan imbalan kelak di akhirat.

Ayat Al-Qur’an sering kali dijadikan ala untuk mendukung pernyataan adanya superioritas kaum pria terhadap kaum wanita. Ayat-ayat ini mengandung istilah yang sering digunakan untuk menunjukkan nilai pada perbedaan kedudukan antar individu dengan kelompok di muka bumi. Berikut adalah penggunaan Al-Qur’an dan keseluruhan konteks dari keadilan yang diserukan Al-Qur’an. Istilah pertama adalah darajah yaitu tingkat atau peringkat. Derajat terdapat di antara manusia bukan cuma di bumi, tetapi juga di akhirat tingkatan surga dan neraka. Istilah lainnya adalah Fadhala yang kerap kali digunakan dengan penghubung dengan darajah. Fadhala memiliki arti melebihkan, mengutamakan (Muhsin, 1994).

Kedudukan perempuan seperti yang digambarkan dalam Al-Qur’an merupakan suatu peningkatan nyata dari keadaan yang berlangsung sebelumnya terkhusus di Saudi Arabia. Perempuan kini dapat mempertahankan dan membuat keputusan sendiri mengenai kekayaan mereka bawa atau yang mereka kumpulkan selama pernikahan mereka dan kini perempuan juga diijinkan menerima warisan (Schimmel, 2017).

Sebenarnya kaum perempuan mempunyai potensi untuk bekerja, bertindak, dan beprestasi sebagaimana kaum laki-laki. Perempuan mempunyai kekuatan yang sama seperti yang dimiliki oleh kaum laki-laki, yaitu komitmen dan keutamaan. Perempuan juga dapat menjadi kekuatan sosio-historis yang tangguh untuk membangun dan mentransformasi ummat Islam. dalam hal ini jangan sampai kaum perempuan menjadi kendala sebagaimana mereka di masa lalu (Khan, 1994).

 

Kesimpulan

Dari penjelasan di atas maka dapat disimpulkan bahwa jenis kelamin dengan gender itu berbeda. Jenis kelamin adalah kodrat dari Allah ynag sudah menjadi takdir bagi makhluk manusia. Sedangkan gender adalah peran-peran sosial yang dikonstrsikan oleh masyarakat, serta tanggung jawab antara laki-laki dan perempuan yang diharapkan masyarakat agar peran sosial tersebut dapat dilakukan oleh laki-laki ataupun perempuan.

Kesenjangan gender ini umumnya disebabkan oleh marginalisasi kaum perempuan, subordinasi pada salah satu jenis kelamin, stereotype pada salah satu jenis kelamin tertentu, violence atau kekerasan, dan beban kerja.

Di dalam agama Islam baik itu laki-laki dan perempuan memiliki kedudukan ynag sama dihadapan Allah. Yang membedakannya hanya pada ketakwaannya. Hal tersebut juga telah dijelaskan dalam Al-Qur’an mengenai kedudukan laki-laki dengan perempuan yang memiliki hak dan kesempatan yang sama.

Bibliography

Dr. Sindung Haryanto, M. S. (2016). Sosiologi Agama Dari Klasik Hingga Postmodern . Yogyakarta: Ar-Ruzz Media.

Etin Anwar, P. (2017). Jati Diri Perempuan dalan Islam. Bandung : PT Mizan Pustaka.

Fakih, D. M. (2013). Analisis Gender & Transformasi Sosial. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.

Farah Yasmin Bukhori, Muhammad Ramzan. (2013). Gender Discrimination: a Myth or Truth Women Status in Pakistan. IOSR Journal of Business and Management (IOSR-JBM) , 88-97.

Fauzie Ridjal, Lusi Margiyani, Agus Fahri Husein . (1993). Dinamika Gerakan Perempuan di Indonesia . Yogyakarta : PT Tiara Wacana Yogya.

Indonesia, K. M. (2001). Kantor Menteri Negara Pemberdayaan Perempuan Republik Indonesia Bahan Informasi Gender-Modul 1. Inodnesia : Kantor Menteri Negara Pemberdayaan Perempuan Republik Indonesia .

Khan, M. u. (1994). Wanita Islam Korban Patologi Sosial. Bandung : Penerbit Pustaka.

Levin, S. (2004). Perceived Group Status Differences an the effects of Gender, Ethnicity, and Religion on Social Dominance Orientation. Political Psychology , 31-48.

Muhsin, A. W. (1994). Wanita dalam Al-Qur'an. Bandung: Penerbit Pustaka.

Nughroho, D. R. (2008). Gender dan Strategi Pengarus-Utamanya di Inidonesia . Yogyakarta: Pustaka Pelajar.

Schimmel, A. (2017). My Soul is Women. Bandung: PT Mizan Pustaka.

Tierney, H. Women's Studies Encyclopedia, . New York : Green Wood Press.

 

Komentar

Postingan populer dari blog ini

anak perempuan

blessed

Past Reflection