tu(gas)lisan #3

 

GENDER DAN PROFESI:

Bagaimana Gender Mempengaruhi Profesi Tertentu? Apakah Ada Pekerjaan Laki-Laki dan Pekerjaan Perempuan?


Maulidia


Pendahuluan

Sepuluh tahun terakhir pembahasan mengenai gender sudah semakin luas hingga memasuki setiap lini sosial. Begitupun di Indonesia, hampir keseluruhan uraian mengenai program-program pengembangan masyarakat ataupun organisasi non-pemerintah membahas isu mengenai gender. Akan tetapi hal ini masih sering terjadi kesalahpahaman dan ketidak jelasan mengenai konsep gender dan hubungannya dengan ikhtiar emansipasi kaum perempuan. Salah satu penyebabnya yaitu ketidakjelasan perbedaan makna gender dan sex. Kemungkinan ketidakjelasan itu bersumber dari kurangnya pemahaman mengenai hubungan konsep gender dengan masalah ketidakadilan lainnya.

Kata gender dalam  istilah bahasa Indonesia itu sebenarnya diadopsi dari bahasa inggris yakni gender. Dalam kamus bahasa Inggris perbedaan antara gender dan sex tidak dijelaskan secara detail. Oleh karenanya gender sering kali disamakan dengan seks (Nughroho, 2008).

Istilah “gender” pertama kali diperkenalkan oleh Robert Stoller untuk mengklasifikasikan manusia didasarkan pada pendefinisian yang bersifat sosial budaya dengan definisi yang berasal dari ciri-ciri fisik biologis. Sebagaimana Stoller, Ann Oakley mengartikan gender sebagai koonstruksi sosial atau atribut yang dikenakan pada manusia yang dibangun oleh kebudayaan manusia (Nughroho, 2008).

Kantor Menteri Pemberdayaan Perempuan Republik Indonesia memberi pengertian bahwa gender merupakan peran-peran sosial yang dikonstrsikan oleh masyarakat, serta tanggung jawab antara laki-laki dan perempuan yang diharapkan masyarakat agar peran sosial tersebut dapat dilakukan oleh laki-laki ataupun perempuan (Indonesia, 2001, p. 1). Women’s Studies Encyclopedia menjelaskan bahwa definisi gender adalah suatu konsep kultural yang berupaya membuat distinction dalam hal peran, perilaku, mentalitas, dan karakteristik emosional antara laki-laki dan perempuan yang berkembang dalam masyarakat (Tierney, p. 153). Sumber lainnya mejelaskan bahwa gender adalah konstruksi sosio-kultural yang pada prinsipnya merupakan interpretasi cultural atas perbedaan jenis kelamin (Fauzie Ridjal, Lusi Margiyani, Agus Fahri Husein , 1993, p. 30).

Lain halnya dengan konsep gender yang diungkakan oleh Mansour Fakih, menurutnya, gender yang di maksud yaitu suatu sifat yang melekat pada seorang perempuan dan laki-laki yang dikonstruksi secara sosial ataupun kultural. (Fakih, 2013) Misalnya yang ada pada perempuan yaitu sikap lemah lembut, penyayang, emosional, dan keibuan. Pada laki-laki yaitu sikap yang perkasa, rasional dan kuat. Semua sikap yang ada pada laki-laki dan perempuan tadi bisa saja bertukar, misalnya laki-laki yang memiliki sikap lemah lembut dan perempuan yang memiliki sikap rasional, pertukaran sikap ini lah yang disebut dengan konsep gender.

Profesi berasal dari kata Bahasa Inggris profesion, bahasa latin  professus yang berarti mampu atau ahli dalam suatu pekerjaan. Profesi ialah suatu pekerjaan yang membutuhkan keahlian khusus dan menuntut untuk memiliki pendidikan tinggi. Biasanya meliputi [ekerjaan yang dituntut untuk berlaku professional. Ada beberapa pengertian profesi menurut para ahli, diantaranya ialah:

Peter Jarvis mengatakan bahwa profesi merupakan suatu pekerjaan yang didasarkan pada studi intelektual dan latihan yang khusus, tujuannya ialah untuk menyediakan pelayanan keterampilan terhadap yang lain dengan bayaran maupun upah tertentu.

Dedi Supriyadi mengatakan profesi merupakan pekerjaan atau jabatan yang menuntut suatu keahlian, tanggung jawab serta kesetiaan terhadap profesi.

Schein, E.H, profesi adalah suatu kumpulan atau set pekerjaan yang membangun suatu set norma yang sangat khusus yang berasal dari perannya yang khusus di masyarakat.

KBBI, profesi adalah bidang pekerjaan yang dilandasi pendidikan keahlian (keterampilan, kejuruan, dan sebagainya) tertentu.

Jadi dapat disimpulkan bahwa, profesi ialah pekerjaan yang menuntut keahlian atau keterampilan dari pelakunya. Pekerjaan atau jabatan tidak dapat dipegang oleh sembarang orang, karena memerlukan pendidikan tinggi dan keterampilan khusus. Maka dari itu, pekerjaan tidak sama dengan profesi.

Biasanya masyarkat menganggap bahwa sebuah profesi sudah pasti menjadi pekerjaan, akan tetapi sebuah pekerjaan belum tentu menjadi profesi. Karena profesi memiliki mekanisme dan aturan yang harus dipenuhi, sedangkan pekerjaan tidak memiliki aturan. Oleh karena itu seharusnya hal ini diluruskan agar masyarakat tidak menganggap profesi itu sama dengan pekerjaan.

Orang yang menyandang suatu profesi disebut dengan professional. Ketika seorang professional memiliki komitmen untuk meningkatkan kualitas dan kemampuannya dalam bidang yang diambilnya desebut juga dnegan profesionalisme. Profesionalisme juga mengacu kepada sikap mental dalam bentuk komitmen.

Masyarakat yang membentuk dan menentukan sifat-sifat individu, yang mencakup segala sesuatu seperti, cara berpakaian, sikap, penampilan, dan kepribadian. Jika ia adalah seorang laki-laki maka harus berpenampilan maskulin, dengan karakter gagah, pemberani, kuat, tangguh, pantang menyerah. Berbeda dengan laki-laki, perempuan lebih menunjukan karakter lembut, rendah hati, anggun, suka mengalah, keibuan, lemah dan dapat memahami kondisi orang lain.

Selanjutnya pada tulisan ini akan membahas, mengenai gender dan profesi. Bagaimana gender mempengaruhi suatu profesi tertentu dan mengapa ada “pekerjaan laki-laki” dan “pekerjaan perempuan”.

 

Bagaimana gender mempengaruhi profesi tertentu?

Gender merupakan jenis kelamin yang ditentukan berdasarkan budaya, dimana laki-laki dan perempuan dibedakan sesuai dengan peran masing-masing yang dikonstruksikan oleh kultur setempat yang berkaitan dengan peran, sifat, kedudukan, dan posisi dalam masyarakat. Laki-laki dan perempuan dibedakan berdasarkan ciri biologisnya. Di dalam konsep gender, pembeda antara laki-laki dan perempuan ialah berdasarkan konstruksi secara sosial maupun budaya. Perilaku yang membentuk identitas laki-laki maupun perempuan diawali dari sejak kecil dan dibentuk melalui proses sosial dan budaya.

Sama halnya dengan profesi, masyarakat yang memandang bagaimana gender  ditentukan. Misalnya laki-laki, masyarakat memandang laki-lakilah yang harus berperan sebagai kepala keluarga dan pencari nafkah utama, karena lelaki dianggap tangguh, tegas dan memiliki sifat maskulin. Berbeda halnya dengan lelaki, perempuan justru dipandang oleh masyarakat bahwa perempuan harus menjalankan peran domestic, seperti mengurus rumah, dan anak-anak saja, karena perempuan memiliki sifat lembut, dan feminim.

Pembagian peran sesuai dengan sifat dan sikap tertentu disebut juga dengan stereotype gender. Dimana ada klasifikasi yang jelas antara pekerjaan laki-laki yang dituntut untuk menujukkan  sisi yang maskulin dan kuat, dengan pekerjaan perempuan yang dituntut untuk menunjukkan sikap feminism dan lembut.

Stereotype gender ada dalam konteks pekerjaaan berbayar (public) maupun pekerjaan tidak berbayar (domestic). Dalam konteks pekerjaan berbayar untuk lelaki misalnya, bekerja dalam bidang teknik mesin, pertambangan, dan pekerjaan lapangan lainnya. Berbeda dengan pekerjaan berbayar untuk lelaki, pekerjaan berbayar untuk perempuan misalnya menjadi sekretaris, pegawai administrasi, juru ketik, maupun juru masak. Jika yang terjadi tidak sesuai dengan seharusnya maka baik laki-laki maupun perempuan kemungkinan besar akan mendapatkan pertanyaan dari masyarakat.

Semakin banyak profesi yang mengalami stereotip gender, seperti pemadam  kebakaran yang dianggap sebagai pekerjaan laki-laki, sementara untuk perempuan  yaitu pekerjaan sebagai juru rawat. Peneliti menunjukan bahwa stereotip ini yang membentuk dan mempengaruhi masyarakat tentang apakah seorang lelaki atau perempuan cocok dengan pekerjaan tertentu sangat kuat mempengaruhi keseluruhan aspek dan hasil profesinya.

Gender dapat mempengaruhi profesi tertentu karena berawal dari masyarakat yang memandang berbeda antara laki-laki dan perempuan, dan dengan banyaknya tuntutan dalam melakukan profesi tertentu. Ketika stereotip gender melekat pada pekerjaan, dan stereotip yang memenentukan wewenang yang dilekatkan pada perempuan dan laki-laki maka akan merugikan salah satu pihak, baik laki-laki maupun perempuan. Minimnya informasi mengenai fleksibilitas peran gender pada masyarakat, mengakibatkan adanya anggapan bahwa lelaki dan perempuan dibedakan dalam bidang pekerjaannya. Jika stereotype terus diterapkan maka akan memiliki dampak negative terhadap lingkungan, tuntutan lelaki yang tidak boleh mennagis dan tidak boleh becerita banyak akan berdampak pada sisi psikologisnya, dan tidak semua laki-laki yang dapat memenuhi tuntutan tersebut. Begitu juga dengan perempuan, perempuan akan mengalami dan mendapatkan peran ganda akibat dibebankannya peran-peran domestic yang melekat pada perempuan.

Ketika kita melihat kembali pengertian gender dan peran gender, pada dasarnya pekerjaan laki-laki dan pekerjaan perempuan itu tidak pernah ada, karena kita dapat memeilih pekerjaan sesuai dengan kemampuan dan kenyamanan kita terhadap pekerjaan tersebut, dan jika kita memilih pekerjaan sesuai dengan keahlian kita, maka kita akan mendapatkan wawasan yang lebih dan dan mendapatkan kefleksibelan dalam melakukan pekerjaan.

Mungkin sekarang kita boleh merasa bahagia sedikit bahwa telah banyak program kebijakan yang mengususng kesetaraan dan pemberdayaan gender terutama perempuan. Kebijakan tersebut dapat mendorong representasi perempuan dalam berbagai ranah, muali dari politik, ekonomi maupun sosial budaya. Sayangnya kita harus melihat bagaimana dampak dan implikasi kebijakan tersebut karena banyaknya keterbatasan, belum lagi jika kita harus mengakui bahwa kebijakan terkadang berbanding terbalik dengan realitas ketimpangan gender yang masih mengakar, terutama dalam dunia kerja.

Kita tau bahwa setiap orang menegaskan jika perempuan telah memiliki kesempatan untuk bekerja, akan tetapi seringkali stereotip yang gender mengekor dalam kehidupan sehari-hari masih dikesampingkan. Seringkali perempuan dianggap sebagai karyawan yang tidak kompeten, banyak beban, tidak dapat mengendalikan emosi, dan permasalahan-permasalahan dirumah. Pada akhirnya perempuan mendapatkan posisi-posisi rendah ataupun pada posisi strategis dengan upah yang tidak sebanding dengan pekerjaan.

Selain itu, bahkan ada beberapa perusahaan yang tidak memberikan cuti kehamilan ataupun cuti menyusui kepada para pekerja perempuan, bahkan di salah satu perusahaan akan mengeluarkan pekerja perempuan jika mereka hamil tanpa memberi pesangon. Jika pekerja perempuan ingin kembali bekerja, maka ia harus memulai kembali karirinya dari nol dengan mekanisme kontrak dan upah yang disesuaikan.

Perlu agaknya untuk merubah cara pandang geneder. Perubahan cara pandang gender ini berarti akan membuka stereotip, baik yang membelenggu kaum perempuan maupun kaum laki-laki. Dengan kata lain ialah mempromosikan kehidupan yang setara antara laki-laki dan perempuan sebagai sesama manusia. Dengan demikian perlu dilakukannya proses untuk membebaskan perempuan dan laki-laki sebagai individu dasri segala hal yang berlatar belakang penjajahan dan penindasan. Maka dari itu perlunya pendidikan, pengetahhuan, pelatihan, keterampilan dan dukungan kepada perempuan agar setara dengan laki-laki.

Kelemahan utama kaum perempuan ialah lemahnya persatuan antara mereka. Upaya untuk penyadaran perempuan untuk bersatu adalah langkah awal yang sangat penting karena disitulah kekuatan untuk kaum perempuan. Jika kaum perempuan bisa bersatu maka akan memiliki kekuatan yang luar biasa untuk  menghalau tindakan ketidak adilan dan penindasan terhadap kaum perempuan. Perlu diketahui bahwa perjuangan para feminis adalah untuk memperjuangkan hak dan keadilan bagi semua manusia yang diberlakukan tidak adil, meskipun perjuangan untuk kaum perempuan lebih khusus karena memang mereka yang menjadi korban yang paling parah.

Kebanyakan media massa menganalisis gender tentang kaum perempuan atau femininitas, hal ini tidak dapat dilepaskan dari persepsi umum bahwa yang bermasalah hanyalah kaum perempuan saja dari pada kaum laki-laki, dan ini sudah menjadi doktrin bagi semua masyarakat. Sebenarnya tidak sedikit kaum laki-laki pun mengalami penindasan, sama halnya dengan kaum perempuan, kaum laki-laki pun merasakan yang namanya bekerja tanpa diberi upah ataupun bekerja dengan upah yang sangat minim. Disini seharusnya antara kaum laki-laki maupun kaum perempuan saling bekerja sama untuk mencapai kedamaian.

Jadi, kesetaraan gender merupakan penilaian setara yang diberikan masyarakat baik bagi kesamaan maupun perbedaan antara perempuan dan laki-laki dan dengan berbagai peran yang mereka jalankan. Apabila keadilan dan kesetaraan gender dapat tercapai maka kemitraan yang harmonis antara perempuan dan laki-laki dapat terjadi, maka tidak aka nada lagi diskriminasi terhadap kaum perempuan maupun laki-laki, dikarenakan merka sudah mencapai mitra yang saling bekerja sama, saling bekerja sama dan bekerja sesuai dengan proporsi, fungsi, dan keahlian masing-masing.

Proses untuk menjadi adil bagi kaum perempuan dan laki-laki memang tidak lah mudah, tetapi jika keduanya bersatu untuk mewujudkan keadilan agar tidak tidak ada unsur diskriminasi antara salah satu pihak sangat dibutuhkan. Agar semua proses berjalan dengan lancer dan terwujud, diperlukan langkah-langkah untuk menghentikan hal-hal yang secara sosial dan menurut sejarah mneghambat perempuan dan laki-laki untuk bisa berperan dan menimati hasilnya. Berawal dari keadilan gender akan menjadikan kesetaraan gender.

Apakah ada pekerjaan laki-laki dan pekerjaan perempuan?

Dari dahulu hingga sekarang, kesenjangan gender antara laki-laki dan perempuan masih saja exist di masyarakat. Sebagai contoh yakni perempuan yang harus menyukai warna merah muda, dan laki-laki harus menyukai warna yang gelap; perempuan yang setelah menikah harus di dapur dan tidak bisa berkarir sedangkan laki-laki harus menjadi pekerja keras untuk menafkahi keluarganya. Stereotype seperti ini agaknya memang sudah sangat lumrah di masyarakat saat ini baik itu yang tinggal di desa atau di kota. Bahkan di dunia kerja sering kita temukan adanya klasifikasi antara pekerjaan laki-laki dan pekerjaan perempuan. Pada laki-laki yang identik dengan pekerjaan berat,  hal tersebut justru berbanding terbalik dengan perempuan yang tak jarang masih banyak orang yang meragukan kemampuannya untuk mengerjakan atau menduduki suatu jabatan dalam pekerjaan karena dipandang lemah.

            Beberapa orang memandang bahwa setara itu berarti laki-laki dan perempuan memiliki kemampuan yang sama, misalnya laki-laki mampu mengangkat beban 50 kg berrati perempuan juga harusnya dituntut mampu mengangkat beban 50 kg juga. Ini adalah contoh analogi yang keliru. Pada dasarnya setara itu bukan berarti sama, kesetaraan itu berarti setiap individu baik itu laki-laki atau perempuan (terlepas dari status apapun) memiliki hak dan kesempatan yang sama.

Lalu masih banyak juga orang yang complain mengenai mengapa perempuan selalu ingin memiliki hak istimewa? Seperti misalnya pada angkutan umum baik itu kereta api, bis, dan lain sebagainya perempuan layaknya ratu yang ingin diberikan tempat yang istimewa. Seakan menjadi perempuan berarti kita mempunyai privilege untuk sebagian aktivitas. Beberapa perempuan berpendapat bahwa sebenarnya mereka bukan menginginkan hak istimewa ataupun privilege, hanya saja perempuan memiliki beban reproduksi tersendiri yang berbeda dengan laki-laki. Perempuan mengalami hamil dan haid, mengandung dan melahirkan 2H 2M, yang mana laki-laki tidak memiliki beban tersebut. Dari sini kita juga bisa memahami bahwa secara biologis perempuan dan laki-laki itu berbeda. Akan tetapi mereka memiliki hak dan kesempatan yang sama.

Jika kita membahas gender sebenarnya gender itu bukan hanya berbicara mengenai jenis kelamin. Menurut teori feminism, gender itu merupakan suatu kontruksi sosial yang menempatkan individu pada skala masing-masing. Namun saat ini banyak sekali orang yang belum bisa membedakan antara kodrat dan gender. Kodrat itu nature, yaitu suatu hal yang sudah tidak bsa diubah lagi. Artinya ini sudah menjadi ketetapan Yang Mahakuasa, misalnya rahim pada perempuan. Berbeda lagi dengan nurture, misalnya pembagian tugas mengurus anak antara suami dan istri.

Secara umum memang studi mengenai gender ini seringkali menekankan diskriminasi atas perempuan, yang mana hal ini memiliki keterkaitan dengan latar belakang sosialnya yang menunjukkan hasil bahwa perbedaan gender ini lebih mengarah kepada perempuan dan hal ini memiliki dampak positif terhadap perempuan. Karena hal tersebut akan menumbuhkan kesadaran bagi perempuan akan kemampuan yang dimilikinya. Ini akan membantu perempuan untuk melakukan menjadi peran yang efisien dalam kehidupan masyarakat dan keluarganya sendiri. Hal ini juga memiliki efek bahwasanaya perempuan dapat meningkatkan standar hidup dan mencetak generasi yang lebih baik.

Peran gender dapat disebut sebagai tuntutan masyarakat sosial terhadap seseorang untuk dapat melakukan tugasnya dan berfikir serta berperilaku dan berperasaan sesuai dengan jenis kelaminnya (Shaffeer, 2000). Gender itu sendiri sering berhubungan dengan perbedaan antara maskulinitas dan feminitas. Pada maskulin yaitu laki-laki yang dianggap kuat, tegas, tangguh, keras, agresif, rasional dan dapat diandalkan. Sedangkan feminitas yaitu perempuan yang pada masyarakat umumnya memandang bahwa ia harus menjalankan peran domestic karena dianggap mewakili  sifat lemah lembut, keibuan, afektif, dan irasional. Sering kali bias gender pada perempuan ini diragukan kemampuannya akan duduk pada suatu jabatan dalam pekerjaan (Nawangwulan, 2019).

Pada budaya masyarakat patriarki, perempuan sering dimarginalisasikan melalui kerja – kerja domestic. Dapat dilihat dari sisi pola pembagian kerja antara laki-laki dan perempuan yang sangat jelas terlihat ketimpangannya. Jika laki-laki bisa menjadi pilot maka perempuan hanya bisa menjadi pramugari, jika seorang laki-laki menjadi bos maka perrempuan hanya bisa menjadi seorang sekertaris. Laki – laki lebih mendominasi pada sector public, sedangkan perempuan di sector domestic, setidaknya begitu yang sering kita temui pada jaman sekarang. Dalam budaya masyarakat patriarki hubungan pembagian kerja tidak memperlihatkan adanya pola keseimbangan. Seringnya pekerjaan laki-laki lebih dihargai  jika dibandingkan dengan pekerjaan yang dilakukan perempuan. Pekerjaan yang dikerjakan oleh perempuan sangat sedikit mendapatkan penghargaan. Hal ini dikarenakan kontruksi sosial yang didasarkan pada tubuh laki-laki dan tubuh perempuan (Nurlian & Daulay, 2008).

Pembagian yang tidak seimbang di atas banyak dirasakan oleh kaum perempuan yang mengakibatkan timbulnya beban kerja. belum lagi pekerjaan perempuan yang dilakukan oleh perempuan yang tidak memadai atau tidak berkualitas yang disebabkan oleh nilai-nilai dalam masyarakat patriarki yang menganggap perempuan tidak bisa bekerj karena posisinya yang sering termarginalisasikan dan terpinggirkan bahkan di nomor duakan.  Hal tersebut menjadikan perempuan hanya dianggap sebatas sebagai pembantu, perawat atau pelayan bagi kepentikan laki-laki.

Timbulnya asumsi yang menjadikan pekerjaan perempuan termarginalkan dikarenakan faktor bentuk fisik laki-laki yang dinyatakan kuat dan sebaliknya, faktor fisik perempuan yang dikatakan tidak sekuat laki – laki; perbedaan antara laki –laki dan perempuan yang menyaktakan bahwa perempuan adalah makhluk yang sensitive, berperasaan halus, emosional, dan lemah lembut (Nurlian & Daulay, 2008). Faktor tersebut telah menjadi akar yang negitu kuat hingga perempuan sering diberikan pekerjaan yang bersifat melayani atau merawat dan terbilang ringan.

Sebenarnya tidak ada ‘pekerjaan  laki-laki’ dan ‘pekerjaan perempuan’. Laki – laki bisa saja mengerjakan pekerjaan  yang biasa identik dikerjakan oleh banyak perempuan, seperti misalnya menjadi juru masak, juru ketik, perawat dan lain-lain. Begitu pula  pada perempuan, mereka bisa saja menjadi pekerja pada bidang pekerjaan yang biasa identik dilakukan oleh laki-laki. Seperti misalnya bekerja di bidang teknologi, pertambangan atau pekerjaan lapangan lainnya.

Tidak ada batasan bagi laki-laki ataupun perempuan dalam memilih pekerjaan yang mereka inginkan selagi mereka mampu dan memiliki potensi di bidang yang mereka minati. Tidak perlu terlalu mementingkan pandangan orang tentang pekerjaan yang akan kita pilih selagi kita capable dalam hal tersebut. Gender jaman dahulu tidak bisa menjadi tolak ukur ketika berbicara di era sekarang yang mana sudah ada di era demokrasi modern, di mana setiap orang berhak untuk memilih perkerjaannya.

Kerugian mengenai stereotype peran gender ini tidak hanya merugikan pihak perempuan saja, akan tetapi laki-laki juga dirugikan. Minimnya informasi mengenai kefkleksibilitasan peran gender di masyarakat dapat mengakibatkan adanya anggapan bahwa laki-laki dan perempuan harus  ada perbedaan dalam bidang pekerjaannya (Pietra, 2019). Hingga saat ini masih banyak masyarakat yang masih kaku terhadap pembagian peran gender, padahal saat kita  merujuk pada pemahaman mengenai gender yang  bersifat fleksibel, dapat berubah, dipersilang dan ditukar maka yang terjadi seharusnya ialah tidak adanya pembagian yang kaku antara pembagian pekerjaan laki-laki dan pekerjaan perempuan (Bem, 1947 ).

Kesimpulan

Adanya pengaruh gender pada pekerjaan bukan karena akibat jenis kelamin, fisiologis, hormone, atau bahkan kecenderungan genetic. Namun, semua itu karena adanya produksi dari kontruksi sosial. Tidak bisa diselesaikan hanya dengan sebatas memberi kesempatan yang sama, tetapi cara pandang kita juga harus diubah, dan dengan hal tersebut  diharapkan kita dapat mewujudkan kesetaraan gender di berbagai sector kehidupan.  Dengan cara mengenal potensi diri dan memilih pekerjaan yang sesuai dengan potensi yang dimiliki

Bahaya bias gender pada pekerjaan laki-laki dan perempuan bisa menjadi diskriminasi gender bahkan sampai kekerasan. Oleh karena itu kita bisa mencegah bias gender tersebut dengan mendidik dan mengasuh anakk secara adil dan menanamkan karakter sejak dini.

Bibliography

Bem, S. L. (1947 ). The Measurement of Psychological Androginy . Journal of Consulting and Clinical Psychology , 155-162.

Fakih, D. M. (2013). Analisis Gender & Transformasi Sosial. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.

Fauzie Ridjal, Lusi Margiyani, Agus Fahri Husein . (1993). Dinamika Gerakan Perempuan di Indonesia . Yogyakarta : PT Tiara Wacana Yogya.

Indonesia, K. M. (2001). Kantor Menteri Negara Pemberdayaan Perempuan Republik Indonesia Bahan Informasi Gender-Modul 1. Inodnesia : Kantor Menteri Negara Pemberdayaan Perempuan Republik Indonesia .

Nawangwulan, A. (2019, September 29). Analisiis: Bias Gender pada Masyarakat Indonesia. Retrieved Juli 5, 2020, from Pendidikan Sosiologi Fakultas Ilmu Sosial Universitas Negeri Yogyakarta: http://pendidikan-sosiologi.fis.uny.ac.id/berita/analisis-bias-gender-pada-masyarakat-indonesia.html

Nughroho, D. R. (2008). Gender dan Strategi Pengarus-Utamanya di Inidonesia . Yogyakarta: Pustaka Pelajar.

Nurlian, & Daulay, H. (2008). Kesetaraan Gender dalam Pembagian Kerja pada Keluarga Petani Ladang (Studi Kasus Analisa Isu Gender pada Keluarga Ppetani Ladang di Desa Cot Rambong, Kecamatan Kuala, Kabupaten Nagan Raya, NAD). Harmoni Sosial , 76-77.

Pietra, J. L. (2019). Gender dan Peran Gender . Buletin KPIN .

Shaffeer, D. (2000). Social & Personality Development . Belmont: Wadsworth/Thomson Learning.

Tierney, H. Women's Studies Encyclopedia, . New York : Green Wood Press.

 

Jane L. Pietra 2019 https://buketin.k-pin.org/index.php/daftar-artikel/427-pekerjaan-laki-laki-dan-pekerjaan-perempuan-apa-bedanya

Sarah dan Laura, 2017 https://www.google.com/amp/s/www.bbc.com/indonesia/amp /vert-cap-40940422

A. Nunuk P. Murniati 2004, Getar Gender Volume 1

Prof. DR. Ir. Zoeraini Djamal (2009). Besarnya Eksploitasi Perempuan dan Lingkungan di Indonesia

Komentar

Postingan populer dari blog ini

anak perempuan

blessed

Past Reflection